Jumat, 28 Maret 2008

Berbicara dari hati

17 tahun silam habis sholat maghrib, bapak mengajak untuk makan di luar, berdua saja katanya. Wah ...khabar gembira karena perut laper dari siang hingga jam 17.00 sibuk mengurus kegiatan OSIS SMA. Ditanya mau makan apa....langsung saja tegas menjawab, kupat tahu, makan yang satu ini memang salah satu favorit, ya ...no 3 setelah lengko (khas tegal) dan bakwan jagung (bikinan ibunda), baru Kupat Tahu....., jadi setiap kaki ini ada di purwokerto maka bisa dpastikan untuk berburu Kupat Tahu.

Bapak terasa santai berbicara dan menanyakan pelajaran-pelajaran, menanyakan kegiatan di Osis, menanyakan kegiatan pengajian di IPM dan kajian malam minggu-an, dan hal-hal yang dijalani sehari-hari. Setelah kenyang makan, tiba-tiba bapak mengeluarkan sebuah kotak, tidak dibungkus kado karena saat itu sedang tidak ada yang ulang tahun, kotak yang berisi Jam Tangan. Dengan senyum beliau berkata "alhamdulillah bapak baru dapat rizki, dan yang pertama kali bapak ingat setelah menerima uang adalah kamu belum punya jam tangan"

Memang dari kecil belajar dari fenomena dan pengalaman sudah menjadi sebuah kebiasan, dan saat menerima jam dari bapak, hati ini langsung saja berkata "tidak mungkin bapak memberikan jam dalam kondisi seperti ini tanpa maksud sesuatu".

Di keheningan malam, merenung memikirkan apa yang ingin diungkapkan bapak kepada diri ini. menerawang menyusuri waktu...memang sejak menjadi ketua OSIS hampir-hampir tidak kenal waktu dalam beraktivitas, pulang sekolah masih disekretariat OSIS, malam kadang merencanakan kegiatan-kegiatan OSIS yang akan dilaksanakan. Praktis pulang ke rumah hanya ganti baju kemudian dengan motor honda 800 kesayangan langsung meluncur ke sekolah. Belum lagi mampir di Sekretariat IPM (ikatan pelajar Muhammadiyah) dan kajian di sebuah mushola kecil di dekat rumah seorang kawan.

Luar biasa, hasil nilai tengah semester cukup mengagumkan dari biasa ranking 10 besar langsung meluncur jauh menjadi sepuluh besar pula tetapi dari akhir.

Ini mungkin yang ingin bapak katakan kepada saya dengan memberi sebuah Jam Tangan, Manage Waktu!

Dalam kisah yang lain , Satu waktu yang masih berbekas hingga sekarang adalah kebiasaan bapak untuk mengajak kami mengunjungi masjid-masjid di purwokerto. Rasanya kedekatan dengan masjid tanpa terasa dipupuk oleh bapak kepada kami. Dan Alhamdulillah semua dari kami sangat dekat dengan masjid sampai saat ini.

Susah meniru 'ilmu hati' bapak untuk diterapkan saat ini, hedonisme dan gempuran ilmu kosmopolitan menjadikan hati menjadi jauh dari kepekaan. Sinetron yang mengajarkan "kejahatan" menjadi konsumsi harian seorang anak. Mungkin kalau seorang anak diberi jam tangan oleh bapaknya saat ini yang muncul adalah komentar " Kok jam ini pak yang dibeli?" harusnya khan yang biru yang style...yang ini dan itu. Yang muncul bukannya kenapa hadiah ini diberikan kepada kita....

lepas dari fenomena saat ini, sungguh, betul-betul terasa bagaimana "bahasa hati" bapak sangat berkesan dalam kalbu, bapak menjadi sangat luar biasa di kedalaman diri, luar biasa dalam mempengaruhi pola berpikir. Jika saat ini kadang ada yang memuji diri ketika "pikir" mengeluarkan ide-ide.....hati ini berkata, sebenarnya bapak yang dipuji buka diri ini. Karena bapak ada dalam diri ini....

Terima kasih pak pelajaran dari hati yang diberikan kepada kami....

Rabu, 26 Maret 2008

kesejukan itu bernama Ibunda

Tak sabar rasanya melihat wajah ibunda yang akan datang malam ini, 1 tahun berlalu, terasa begitu lama tidak melihat wajah bunda.

Ketika pintu diketuk dan terbuka, terlihat senyum yang indaaaah menawan begitu sejuuk terasa. Tak sanggup lagi bibir ini berkata-kata hanya tetesan air mata yang berbicara bahagia bertemu kekasih hati. Peluk kasing sayang mengaliri seluruh tubuh. Rasanya segala kesombongan luluh, arogansi ilmiah luntur, kepandaian bicara kelu, badan yang besar ini bergetar menahan kerinduan ilahiyah, kecintaan pada seorang bunda.

Bunda, selama ini memang kekakuan diri sering engkau cermati untuk di ubah, agar mencair dengan penuh cinta dan kasih sayang. Sungguh bunda, hati ini sangat cair untuk mengalirkan cinta dan kasih sayang. Mungkin kerapuhan dan kelemahan diri ini yang ingin ditutupi, sehingga muncul arogansi kesombongan.

Bunda, Engkau tidak pernah minta apapun...hanya doa yang selalu engkau harapkan, tapi itupun sering terlewat oleh waktu yang begitu menekan diri. Engkau tidak pernah minta apapun bunda, tapi sekedar bakti seorang anak untuk menanyakan khabar " Bagaimana bunda khabar hari ini?", itupun lewat oleh alam maya harapan dan keinginan. Engkau tidak pernah minta apapun bunda, sekedar menanyakan sakitmu yang menahun pun tidak pernah keluar dari bibir ini. Bukan tidak tahu betapa engkau menahan derita sakitmu, tapi kadang sakit diri yang ada lebih menyibukan dari mengingat rintihanmu.

Bunda saat ini sosokmu sudah ada dihadapan diri ini, tertidur pulas karena menempuh perjalanan yang begitu jauh 12 jam. Mata ini tidak pernah berhenti menatapmu, tubuhmu yang semakin kurus membuat dada ini sesak..., sedih rasanya selama ini tidak pernah begitu focus memperhatikanmu. keriput-keriput di kulitmu yang putih terlihat jelas menandakan waktu telah lama mendampingimu. Tak terasa menetes lagi air mata ini melihat lelahnya wajah ibunda;

Ya ...lelah, perjuangan menempa diri ini oleh ibunda bukan perjalanan mulus jalan tol, tetapi jalan mendaki penuh liku. Ingat engkau ibunda, saat kecil tanpa tahu engkau tidak mempunyai cukup uang, rengekan meminta susu ultra terus saja mendayu bagai nyanyian tanpa henti. Akhirnya demi cinta bunda kepada kami, engkau usahakan itu ada walau harus berjalan jauh ke rumah sahabatmu yang kebetulan memiliki toko makanan, bukan untuk membeli tetapi engkau buang harga diri dengan meminta, sungguh bunda engkau lakukan semata-mata demi kami. Ingat ketika diri ini mulai pandai, menjadi ketua OSIS di sebuah SMA favorit, mungkin engkau melihat diri ini sudah mulai mengajari, diri sudah mulai bisa berdalih, dan merasa terbang ke awan tinggi dan melihatmu kecil dari atas. Engkau hanya mengelus dada dan memberikan cinta tanpa beban pada diri ini, senantiasa menghidupi hati kami, melayani keinginan kami, tanpa sempat memikirkan kebutuhan untuk dirimu ibunda.

Bunda, ingat engkau ketika datang ke bandung melihat tempat tinggal sementara selama kuliah di sana, kamar ukuran 2 x 3 yang hanya cukup untuk kasur di lantai bawah, meja belajar harga 45 ribu dan lemari plastik. Engkau menangis...., jangan menangis bunda, diri ini memang harus ditempa agar tidak lebih terbang ke awan membumbung dalam kesombongan. Engkau menangis mendengar cerita teman-teman saat itu, yang bercerita makan hanya 2x sehari untuk menghemat biaya di bandung, kadang puasa daud dijalani, .....jangan menangis bunda, yakinlah fase perjuangan harus ada dalam tempuhan kesuksesan.

Dulu engkau bangun tengah malam, bersimpuh dihadapan Allah, mendoakan anak-anakmu. Sekarang Engkau pun tetap berdoa mendoakan kami, bahkan engkau masih saja menangis sambil berdoa karena agar kami mudah berjalan menapaki kehidupan, agar kami mudah membuang duri-duri dari jalan kami.

Bunda, sesejuk apapun air pegunungan, sedingin apapun batu es membarakan air, sungguh kesejukan mu menghilangkan segala dahagaku....

Selasa, 25 Maret 2008

Pembedanya adalah Pengorbanan

Ketika orang bicara, sebaik apapun berdalil, dan berorasi...maka orang bisa melihat perbedaannya.
Ketika Pemimpin memerintahkan, menginstruksikan, meminta ini itu untuk dilakukan....bawahannya akan bisa pula membedakan
Ketika orang tua marah, menangis, berharap sesuatu terhadap kita anaknya....anak itu membandingkan pula untuk melihat sebuah perbedaan
Perbedaan antara berbicara dengan kenyataan, memerintah dengan mencontohkan, atau mengharapkan dengan mendorong adalah satu kata Pengorbanan.
Hasan Al banna bahkan secara lugas menghubungkan kata pengorbanan dengan jihad dalam sebuah kata Tidak Mungkin Jihad tanpa Pengorbanan. Jihad di jaman rasul adalah pembeda bagi mereka yang munafik atau yang benar-benar beriman.
Sebanyak apapun perkataan, tanpa ada pengorbanan dalam menjalankan hanya menjadi hiasan bibir semata. Sekeras apapun seorang pemimpin menginstruksikan perintah kepada bawahan tanpa ketauladanan pengorbanan hanya akan tampak sebuah arogasi ketuhanan.
Mahatma Gandhi, perjuangan tiada henti, berbicara dengan hati dan melangkah dengan penuh pengorbanan. Soekarno berorasi dimana-mana, dengan penuh pengorbanan dijalani pengasingan dan penjara. Eka Cipta, sosok pengusaha sukses, datang ke Indonesia dengan harapan, dibuktikan dengan pengorbanan berdagang, dan banyak lagi sosok-sosok yang membuktikan sesuatu dengan pengorbanan, hasilnya adalah mereka menjadi sosok yang berbeda.
Mungkin terlalu mendunia, mari kita berbicara pada tauladan yang melangit....menembus jajaran langit tujuh menuju pada kemuliaan di sisi Alloh.
Saya selalu saja teringat Mus'aib Bin Umair, Sosok anak pengusaha kaya, yang senantiasa berdandan parlente, menjadi pujaan berpuluh-puluh gadis di Mekah. Sesaat setelah cahaya Allah masuk di kalbunya, terjadi inqilabiyah(perubahan), di al qur'an di istilahkan dengan Shibghoh (celupan)-Shibghotallah (celupan Allah); maka tidak akan pernah menjadi sejarah ketika beliau tidak melakukan pengorbanan.
Saat rasul sedang bercengkrama dengan sahabat-sahabatnya dan datanglah sosok mushaib dengan baju yang penuh dengan 'tambalan', beliau menangis, menangis terseguk-seguk hingga membuat sahabat ikut bersedih, kemudian Rasul bertanya kepada sahabat-sahabatnya " Wahai sahabatku, jikalau engkau saat ini memiliki harta yang banyak, dapat berganti-ganti baju setiap saat, mempunyai rumah yang megah, bagaimana menurutmu?" Sahabat menjawab tentunya kami berbahagia ya rasul...., Rasul berkata kembali tidak sesunguhnya tidak, apa yang sekarang kalian rasakan jauh lebih membahagiakan dibandingkan gambaran yang saya tanyakan tadi"
Ketika Abu Bakar Shidiq mendampingi rasul berhijrah, wajahnya terlihat ketakutan, sebentar-sebentar beliau berjalan di depan rasul, kemudian tiba-tiba berjalan di belakang rasul, tak berapa lama abu bakar pindah ke sisi rasul, demikian terus menerus sehingga membuat rasul bertanya "Wahai kekasih Allah ada apa gerangan berlaku seperti itu?", Abu Bakar menjawab "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya sangat khawatir, terpikir oleh saya bagaimana nanti jika ada musuh yang akan melemparkan tombak dan memanah engkau dari depan, maka segera saya ke depan, kemudian terpikir lagi bagaimana kalau musuh ada dari belakang, kemudian saya ke belakang", Rasul berkata " Wahai sahabatku, apakah engaku lebih rela terluka dan mati untuk melindungi aku?" Abu bakar menjawab " Benar wahai Rasulullah, hamba lebih rela hamba yang terluka dan mati"
Tidak akan pernah habis kita membahas pengorbanan para sahabat, tapi kita sulit membahas pengorbanan-pengorbanan yang telah kita lakukan. Jauuuh lebih banyak waktu kita korbankan untuk harapan & cita-cita keduniaan kita, banyak tangisan menetes karena rasa kecewa dan masalah yang menimpa kita, timbul banyak kekhawatiran dalam diri kita harta, karir, kesehatan dan alam dunia lainnya.
Sungguh jika kita mau berbeda di mata manusia dan mulia di mata Alloh, maka jadikan pengorbanan sebagai kunci hidup kita....

Senin, 24 Maret 2008

Sejauh Melangkah Berjuta Kisah Bersama

Tidak pernah lepas dari ingatan, ketika diri ini jatuh, terjerembab, terkapar tanpa tenaga, engkau senantiasa membantu untuk tegak kembali dan berjalan, lantunan kata-kata dari bibirmu mengalir bagai sejuknya air membasahi kerongkongan yang kering kehausan.
Kadang ketika bahagia kudapat, keceriaan terhampar, tawa tergelak, kesuksesan bertubi menghampiri…,kilatan waktu melupakan kebutuhan akan dirimu di sisi ku, hingga keceriaan itu habis tak tersisa olehku, tawa itu lenyap kunikmati, sukses itu melambungkan diri ini. Kamu tersenyum mendengar ocehan bibirku menceritakan bahagia yang kudapat walau tanpa kuberi setetespun bahagia itu untuk dirimu.
Tetapi ketika gelap kuraskan kembali, terjalnya jalan yang kulewati menyakiti tapak kakiku, airmata mengucur deras karena sakiitnya hati, goncangnya batin karena ditinggal orang-orang yang dicintai…..maka keberadaanmu, sahabatku …ter-amat begitu berarti.
Ribuan kilometer telah kita tempuh bersama, bukan satu kisah kita selami bersama tetapi jutaan kisah kita lukiskan penuh warna tergores. Seiring berjalannya waktu, berputar-cepatnya jarum jam menandakan perubahan hari demi hari, musim berganti menerpa diri, tidak terasa kita mulai disibukan dengan nada-nada dunia.
Saat engkau membutuhkan aku, untuk berdiri tegak, tegar tersenyum dalam kesedihan …, aku sedang berada di alam lain, sedang asyik dengan maian baruku bertemu dengan para klien, menghitung komisi jualanku…..
Saat tersadar dan moment itu hilang, aku mencoba menenangkan diri ini dengan beberapa alasan, seratus alasan bahkan berjuta-juta alasan untuk justifikasi ketidakhadiranku untuk mu. Dan wajar ketika aku berusaha menjelasakan sejuta alasan itu kepadamu, kamu tidak lagi mau mendengarku, bahkan ketika aku berusaha memandang wajah kamu, kamu memalingkan wajah seakan jijik kepadaku.
“Ah ……paling tidak akan lama begitu,”kataku meyakinkan diri. ”Ah ..paling dia masih sedih sehingga penjelasanku tidak mau didengarnya” atau ”Ah….egp ajalah paling kalau butuh kamu akan call aku.
Sehari kutunggu, satu minggu kunanti sekarang beberapa bulan berlalu dan engkau masih saja marah kepadaku. Malam itu aku benar-benar merenungkan perjalanan yang telah kita tempuh bersama, dan malam itu aku benar-benar menjadi ‘narapidana’ jauh darimu. Aku sadaaar….aku benci diriku, aku memang salah….., egois, mau menang sendiri, …dan ratusan cacian untuk diriku mengalir dari bibir ini. Sampai lelah tubuh ini menahan ribuan cacian yang memang pantas untuk aku....;
Aku masiih ingiin berjalan berjalan dan menikmati goresan kisah kita, seburuk apapun asal engkau masih tetap menggandeng tangan ini. Maafkan aku sahabat, engkau boleh meminta apa saja dariku tetapi jangan pernah memalingkan wajahmu dariku, jangan pernah kau tutup telingamu seakan tuli untuk mendengar keluh kesahku...; Aku sayang kamu dari hatiku sahabatku...., alam lain itu telah aku buang jauh-jauh ....karena kau..aku menjadi kuat berjalan, senyum tersungging karena eratnya tangan kamu memegang.....maafkan aku ...., ayo kita buat lagi sejuta kisah bersama......

Melangkah Menoreh Garis HIjau...

Kenapa Greenline?
Line, garis menurut saya lebih tegas dibandingkan sebuah jalan, jalan adalah sesuatu yang dilewati, sedangkan garis bisa lebih luas lagi; bisa berupa penggambaran dari sebuah jalan, bisa juga petunjuk, bisa juga bekas langkah atau bisa juga pembeda antara sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Green, Hijau ; lebih bersifat natural, kejujuran yang penuh dinamis, proactive (beda dengan kejujuran warna putih), hijau juga menyejukan mata kita, disisi lain sisi politik atau sisi religius, hijau lebih di arahkan ke Islam. Dan Islam adalah sunahtullah, dan pasti dalam koridor maiyatullah (kebersamaan dengan Alloh).
Melangkah adalah simbol aktif, bergerak, beramal, tidak diam, atau membatu.

Kata orang jika takut jatuh, jangan pernah berlatih berjalan; Melangkah sudah 3 step lebih dibandingkan berlatih berjalan, tentunya sudah melewati proses jatuh dan proses lainnya.
Melangkah menuju sesuatu, atau bisa melangkah tanpa tujuan (walaupun tanpa tujuan itu ya sebuah tujuan)

SIlahkan melangkah, seribu langkah, sejuta langkah....silahkan menuju, berharap, bermimpi sesuatu....tapi tinggalkan greenline, berikan kesejukan hasil yang tegas, jadikan momentum-momentum kemenangan hakiki. Karena menang belum tentu hijau, menang bisa saja dengan membuat yang lain tersakiti......

e1